Jakarta-Utang pemerintah meningkat signifikan selama satu dekade pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Jokowi menyebabkan utang Indonesi pada level yang tersebut berbahaya.
Ekonom senior Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menafsirkan Jokowi sebagai presiden beruntung. Masa awal pemerintahan Jokowi diwarisi level utang yang dimaksud relatif rendah juga beliau memanfaatkan keadaan itu untuk berutang. “Pak Jokowi selama 10 tahun menikmati itu, akibat beliau mewarisi dari kepemimpinan Pak SBY yang utangnya rendah,” kata Wija diambil pada Senin, (12/8/2024).
Ketika baru dilantik berubah jadi presiden pada 20 Oktober 2014, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mewarisi utang sebesar Mata Uang Rupiah 2.608 triliun. Angka itu sejenis dengan 24,7% dari Barang Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Lima tahun periode pertama Jokowi, level utang pemerintah perlahan naik. Pada 2015, rasio utang pemerintah menjadi 27% dari PDB. Sementara pada akhir masa jabatan pertama Jokowi pada 2019, level utang pemerintah dari Ekonomi Nasional mencapai 30,6% atau Mata Uang Rupiah 4.786,58 triliun.
Lonjakan utang yang tersebut sebenarnya kemudian berjalan pada periode kedua Jokowi. Pada 2020, utang pemerintah melonjak 27,01% dari tahun sebelumnya berubah jadi Rupiah 6.079,17. Nilainya kembali naik pada 2021 menjadi Simbol Rupiah 6.913,98 triliun, serta pada 2022 tembus Mata Uang Rupiah 7.776,74 triliun. Kemudian, utang pada 2023 mencapai Rupiah 8.163,07 triliun. Menurut data April 2024, utang pemerintah pusat sudah ada mencapai Mata Uang Rupiah 8.338,43. Kenaikan jumlah keseluruhan utang ini terlibat meningkatkan rasio utang pemerintah terhadap PDB, dari semula 30,6% dari Produk Domestik Bruto pada 2019 bermetamorfosis menjadi 38,64% dari Ekonomi Nasional pada April 2024.
Dokumen Kerangka Perekonomian Makro dan juga Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025 menyampaikan kenaikan utang yang dimaksud signifikan itu dipicu oleh tingginya keinginan pembiayaan kegiatan Penanganan wabah Covid-19 serta Pemulihan Perekonomian Nasional (PC-PEN). Dokumen yang dimaksud identik menyampaikan rasio utang kembali meningkat pada tahun 2021 untuk membantu pelaksanaan PEN.
Besarnya utang pemerintah pada waktu ini tak ayal memproduksi beban negara untuk membayar utang beserta bunganya semakin berat. Pada 2024 atau tahun terakhir Jokowi, utang jatuh tempo yang mana harus dibayarkan pemerintah mencapai 434,29 triliun. Jumlah itu akan melonjak pada 2025, sewaktu pemerintahan baru harus membayar utang pokok mencapai Simbol Rupiah 800,33 triliun, belum salah satunya bunga.
Pada 2026, utang jatuh tempo akan lebih tinggi membengkak menjadi berubah menjadi 803,19 triliun. Pada 2027, utang jatuh tempo masih menggunung, yakni Rupiah 802,61 triliun. Utang jatuh tempo baru berkurang pada 2028, sewaktu pemerintah harus membayar utang jatuh tempo sebesar Mata Uang Rupiah 719,81 triliun. Total utang jatuh tempo sepanjang 2025-2028 mencapai 3.125 triliun, belum satu di antaranya bunga.
Besarnya utang pemerintah Jokowi sempat dibahas antara Komisi XI DPR RI dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada rapat kerja Juni 2024. Sri Mulyani mengemukakan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto di bawah batas aman sesuai dengan Undang-Undang (UU) Keuangan Negara yang tersebut rasionya dipatok sebesar 60% terhadap PDB.
Dengan kondisi itu, Sri Mulyani meyakini bahwa rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto masih sangat aman. Menurutnya, lonjakan utang tak terhindarkan oleh sebab itu pemerintah membutuhkan berbagai anggaran untuk menghadapi pandemi Covid-19.
“Rasio kita walaupun di situasi syok tahun 2020 yang mana defisitnya melonjak dari 6,1% tapi kita sanggup konsolidasi fiskal di waktu yang digunakan sangat segera sehingga dari sisi rasio utang kita begitu naik kemudian turun,” kata Sri Mulyani.
Dia menegaskan ukuran rasio utang terhadap Pendapatan Domestik Bruto menjadi fokus yang mana akan pemerintah pantau setiap saat. Mantan pejabat Bank Planet itu menegaskan hal terpenting pada pengelolaan utang adalah merawat batas rasio sesuai dengan undang-undang. “Ini sangat diperhatikan sekali lalu di-notice sebagai suatu komitmen dari pengelolaan APBN yang mana baik,” ujar Sri Mulyani.
Pemerintah kerap menggunakan patokan rasio utang terhadap Ekonomi Nasional sebagai batas aman pengelolaan utang. Patokan ini dipandang ekonom sebagai ukuran yang dimaksud patut diragukan.
Wijayanto Samirin sempat menelaah jika muasal patokan rasio utang terhadap Pendapatan Domestik Bruto sebesar 60%. Setelah ditelisik, nomor yang disebutkan sebenarnya muncul pada saat Uni Eropa bersepakat menggunakan mata uang tunggal Euro.
Masalahnya, kata Wijayanto, keadaan perekonomian Indonesi dengan Uni Eropa berbeda, khususnya pada hal rasio perpajakan (tax ratio). Menurut Wijayanto, Uni Eropa mematok bilangan bulat 60% di mana mereka itu memiliki rasio perpajakan ke tingkat 41%. Sedangkan pada Indonesia, rasio perpajakan baru mencapai hitungan 10,4%.
Melihat perbandingan rasio perpajakan antara Nusantara serta Uni Eropa itu, ia menganggap batas aman utang Nusantara terhadap Produk Domestik Bruto seharusnya ada dalam hitungan 15%. “Kalau mau fair kita gunakan seperempatnya, jadi kira-kira batas aman terhadap PDB-nya 15%,” kata dia.
Wijayanto mengutarakan level keamanan rasio utang juga bisa saja diukur menggunakan parameter penerimaan negara atau Debt to Service Ratio (DSR). DSR adalah rasio yang mana membandingkan antara jumlah agregat utang dengan besaran penerimaan negara yang digunakan diperoleh selama satu tahun.
“Negara membayar utang menggunakan penerimaan, berisiko atau tidaknya ukuran sebuah utang sanggup diukur dari penerimaan, kita sebut namanya debt to service ratio,” kata dia.
Wijayanto mencatatkan data pada 2025 total utang jatuh tempo pemerintah mencapai Mata Uang Rupiah 800 triliun, ditambah bunga sebesar Rupiah 539 triliun sehingga jumlah keseluruhan totalnya sebanyak Mata Uang Rupiah 1.339 triliun. Sementara itu, penerimaan negara pada periode yang identik diperkirakan mencapai Mata Uang Rupiah 2.837 triliun. Dengan nomor itu, Wijayanto memperkirakan rasio utang pemerintah menggunakan DSR mencapai 47,2%. Artinya, hampir setengah penerimaan pemerintah habis untuk membayar utang. “Angka ini hampir pasti,” kata dia.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengutarakan DSR adalah metode yang dimaksud kerap digunakan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mengukur keamanan utang suatu negara. Dia mengutarakan IMF menetapkan batas aman rasio utang pemerintah dari penerimaan adalah 150%.
Dengan utang mencapai lebih banyak dari Simbol Rupiah 8.000 triliun, Eko mengutarakan level utang Indonesi telah lama mencapai 300%. Angka itu dua kali lipat dari batas aman yang mana ditetapkan IMF. “Sekarang pendapatan kita per tahun sekitar Rupiah 2.700 triliun, kalau utang kita Rupiah 8.000 triliun, ketika dibagi akan 300%,” ujar dia.
Eko mengungkapkan kondisi utang inilah yang tersebut menghasilkan penanam modal sempat gusar pada saat ada isu presiden terpilih Prabowo Subianto akan menaikan rasio utang hingga 50% dari PDB. Menurut dia, apabila rasio utang ditingkatkan maka risiko ekonomi yang tersebut dihadapi Indonesia akan semakin tinggi.
“Jadi salah siapa kalau defisit diperlebar penanam modal kabur. Ya salah kita yang tak rasional seolah semuanya mampu dibiayai,” ujarnya.
Next Article Sri Mulyani Bicara Soal Utang RI dalam 2025: Harus Sangat Hati-hati!
Artikel ini disadur dari Warisan Utang Era Jokowi: Prabowo Harus Bayar Rp800 T Tiap Tahun